Photo Credit: PEXELS.com |
Setelah
kejadian dodol dimalam penutupan masa orientasi sekolah itu, gue jadi makin
rada-rada ~Suka senyum-senyum sendiri kalo ngeliat kak winda lewat depan kelas,
sering ijin ke kamar mandi saat jam pelajaran cuma mau liat kak winda di
kelasnya, dan malah gue suka belajar ciuman ama tembok kalo-kalo pas gue
papasan sama kak winda trus dia minta cium, jadi gue gak grogi lagi. Engga deh
boong. Ditambah lagi gue gak bisa ngendaliin diri kalo papasan sama kak winda.
Bawaannya pengen salto-saltoan gitu, trus bilang, ‘liat nih kak, aku jago maen
sirkus doonng’. Tapi yang ada nanti dia mikir kalo epilepsi gue kambuh.
Gara-gara itu gue jadi ngerasa
patah hati, hancur lebur berkeping keping. Penyesalan muncul ketika semua ini
terjadi. ‘Kenapa gue gak nyatain aja waktu itu?’, pertanyaan ini selalu muncul
saat gue ngelamunin kak Winda. Seengganya kalo gue nyatain perasaan saat itu
juga, ya walaupun kemungkinan gue diterima sangat kecil, tapi, paling ngga, gue
ngerasa lega karna udah ngungkapin semuanya. Sekarang. Yang ada hanya patah
hati. Penyesalan, jatuh cinta diam-diam.
~
Hari demi hari berlalu.
Kegalauan gue gak kunjung ilang. Usaha bodong untuk menghibur gue dengan cara
berperilaku layaknya topeng monyet walau tanpa topeng tapi keliatan mirip, tetep
semua hanya sia-sia. Dulu gue ngerasa semringah ketika kak winda lewat depan
kelas gue, sekarang, kayak ada yang ‘jleb’ gitu didalem hati. Beraat rasanya
menerima kenyataan yang begitu pait. Ya. Gue rasa. Cinta diam-diam itu seperti
ini. Menyakitkan.
~
Jatuh cinta diam-diam
ini sebenarnya engga cuma terjadi pada diri gue aja. Setiap orang pasti pernah
merasakan jatuh cinta diam-diam. Dan berikut adalah kisah yang terjadi lagi
pada diri gue (tapi sebagai korban), dan temen-temen gue (sebagai pelakunya).
Semua berawal dari
beberapa kalinya gue mendapati selembar surat di loker meja gue. Sejak saat itu
gue belum tau siapa dalang dari semua surat-surat ini. Disurat itu gak ada
identitas si pengirim. Yang ada, cuma nama si penerima, yaitu gue. Isi suratnya
beraneka ragam ~kadang isinya kata-kata puitis, cerita romantis, kekaguman si
pengirim kepada gue, dan...tagihan rekening listrik. Oke, yang terakhir gue
ngarang.
Gue mulai penasaran dengan
semua teror surat cinta ini. Hingga pada akhirnya gue memutuskan untuk
menyelidiki kasus teror yang terjadi pada diri gue. Meskipun bukan teror yang
membahayakan, tetep aja gue merasa gak nyaman atas perlakuan si pelaku terhadap.
Seperti ala-ala film
detektif conan, gue mengambil kertas, berikut pulpennya, gue mulai menyusun
berbagai kemungkinan-kemungkinan yang ada. Seperti: 1. Menebak jenis kelamin si
pelaku, gak masalah kalo ternyata pelakunya cewe. Yang jadi masalah adalah,
kalo ternyata pelaku adalah cowo. Gilak, bayangin aja. COBA BAYANGKAN!! 2.
Menebak kapan si pelaku menaruh surat itu di loker meja gue. Kalo sore, gue
akhir-akhir ini emang pulang sore terus dan gak ada yang aneh. Dan kemungkinan
si pelaku menaruhnya saat pagi-pagi, sebelum gue nyampe ke sekolah.
‘Sippp!’ dengan mantap
gue melingkari nomor dua, sebagai prioritas penyelidikan gue kali ini.
~
Pada satu hari, gue
berangkat sekolah pagi-pagi buta. Niatnya pengen mergokin si pelaku teror cinta.
Sesampainya di sekolah, suasana masih sepi banget. Gue bergegas menuju kelas.
Dan...mendapati seorang bencong, *eh cewe berambut panjang terurai yang sekilas
mirip sodako (hantu dari jepang), sedang berusaha memasukan sesuatu ke loker
meja gue.
Dia kaget dengan suara
langkah kaki gue yang emang kedengeran seperti segerombolan wildebeast yang
lari-lari dikejar singa. Dan dia gak sengaja menjatuhkan surat itu ke lantai.
Gue mengerenyitkan dahi, ‘jadi, selama ini elo yg udah neror gue?’
Hening.
Dia keliatan kaget dan
diam tertunduk.
Melihat gelagatnya yang
seperti itu gue langsung mengurungkan niat gue untuk menginterogasinya secara
langsung.
Sambil tersenyum dan
memegang pundaknya, gue mencoba mencairkan suasana, ‘Makasih ya... Puisinya
bagus’
Aura tubuh yang shock,
rona wajah yang panik, perlahan mulai pudar. Dia bisa mengangkat wajahnya dan
menatap mata gue, tapi langsung dia buang tatapan itu ke lantai ruang kelas
VII.A yang saat itu memang masih sangat sepi, hanya ada gue dan dia, serta meja
kursi yang tersusun rapih, sunyi, matahari belum sepenuhnya menyinari bumi
bagian terpencil ini sehingga belum ada cahayanya yang ‘merangsek’ masuk dari
celah-celah ventilasi udara diatas jendela berbingkaikan kayu dan setengah
dicat warna biru.
Kondisi mulai stabil
dan enak untuk ngobrol. Gue mulai menanyakan pelan-pelan semua yang terjadi
selama ini ~Yang dia lakukan pada gue akhir-akhir ini.
~
Namanya Dania. Dia
ternyata teman sekelas gue. Tapi berhubung dia orangnya pendiem dan jarang
diekspose guru, gue jadi gak pernah memperhatikannya.
Berdasarkan ceritanya,
ya, memang dia menaruh hati pada gue. Saat masa orientasi sekolah, dia
diem-diem merhatiin gue. Dia begitu ‘wonder’
dengan apapun yang gue lakukan, sampe dia suka berfantasi membayangkan kisah romantis
Romeo dan Juliet, walaupun pada akhir kisahnya mereka berdua mati bunuh diri.
Dari semua hal yang dia
ceritakan ke gue, ternyata pemikiran gue tentang Dania yang pendiam itu adalah
salah besar. Dia begitu asik menceritakan segala hal dari yang terkecil sampe
yang terbesar. Dari cerita dia tentang masak aer yang gak mateng-mateng karna
kompornya lupa dinyalain sampe cerita masalah keluarga yang lebih rumit lagi.
Seiring berjalannya
waktu, kita makin deket. Tapi gak sampe pacaran. Mungkin ini adalah kesalahan
terbesar buat gue ~Membiarkan orang yang jatuh hati, makin deket dengan gue
tanpa memberikan kepastian status. Gue sadar, harapan dia semakin tinggi pada
gue. Sedangkan gue gak pernah bisa suka sama temen sekelas, perasaan gue hanya
sekedar seorang temen kepada temen baiknya. Gak lebih.
Tapi sisi positifnya,
dia berubah. Awalnya pendiem, wajahnya selalu murung, jarang bicara bahkan ke
temen sebangkunya, Ratna. Sekarang dia menjadi
lebih banyak bicara, lebih periang, dan atas saran gue, dia menguncir
rambutnya.
~
Ya. Mungkin sebagian
temen-temen atau dalam hal ini, orang-orang yang menilai seseorang itu pendiam
dan tertutup pada lingkungannya, adalah orang-orang yang gak bener-bener
memahaminya. Ketika seseorang bersikap acuh dan jarang bicara bukan berarti dia
orangnya pendiam dan tertutup. Hanya saja, untuk hal-hal yang terjadi pada dia,
yang menurutnya gak bisa diceritakan ke sembarang orang, dia lebih memilih
untuk diam dan menyimpannya sendiri. Tapi kalo dia udah menemukan orang yang
tepat, yang mampu mengerti dan memahaminya, dan dia merasa nyaman, maka dengan
sendirinya dia akan lebih banyak berbicara, menceritakan hal-hal yang menurut
dia asik dan enak untuk dibagi pada orang yang membuat dia nyaman, dan lupa,
kalo dia adalah orang yang pendiam dan tertutup.
Gue seneng bisa merubah
hidup seseorang menjadi lebih baik, meski hanya sekedar mendengar
problematikanya, memahaminya, dan memberikan solusi. Tapi tetep, segala
keputusan sepenuhnya ada ditangan dia ~Mau berubah apa engga. Yang bisa gue
lakukan saat itu hanya berusaha untuk menjaga perasaannya.
Comments
Post a Comment